SEKOLAH MENCARI NILAI ATAU ILMU ?

Bulan Mei- Juli  merupakan masa-masa yang sangat mendebarkan bagi dunia pendidikan, baik pendidik, peserta didik maupun wali murid. Hal ini disebabkan "ancaman" yang telah diciptakan oleh sistem pendidikan itu sendiri, bahwa siswa yang tidak mencapai jumlah nilai tertentu dinyatakan tidak lulus. Untuk mencapai kelulusan nilai rapor (NR) dihargai 40 % sedangkan nilai Ujian Nasional (UN) dihargai 60 %  dan penggabungan kedua komponen tersebut tidak boleh kurang dari  5,5.

Ancaman tersebut menimbulkan dampak negatif yang kontra produktif bagi pembangunan pendidikan. Kita saksikan berita dimedia massa terlihat berbagai kecurangan yang dilakukan  dalam rangka untuk meloloskan peserta didik dari cekikan ketidaklulusan para siswa. Bahkan rumor yang terjadi di masyarakat (kebenarannya belum bisa dipertanggungjawabkan) upaya-upaya tim sukses bergerilya memberikan jawaban pada saat UN juga terus terjadi, beberapa bimbingan belajar pun ikut-ikutan menjadi joki agar siswa bimbingannya mendapatkan nilai baik.

Masyarakat (wali murid) pun terkadang ikut terprovokasi  memprotes pihak sekolah agar memberikan nilai rapor yang tinggi  agar mendapatkan nilai akhir (NA) baik. Jika masyarakat khawatir akan nasib para siswa dari ketidaklulusan maka guru adalah orang yang paling khawatir akan hal ini. Akibatnya para guru akan berfikir keras bagaimana agar siswanya dapat mengerjakan soal-soal. Maka bimbingan belajar, Lembar Kerja Siswa (LKS), mengerjakan soal-soal unas tahun lalu akan menjadi menu sehari-hari yang disajikan oleh guru  dan senjata pamungkasnya adalah menggunakan "katrol "nilai bagi siswa kurang mampu. Mungkin hal ini akan menjadi budaya baru bagi dunia pendidikan. Kini pendidikan hanya berorientasi pada satu asfek kognitif yang menghasilkan  nilai di atas kertas.
Terus bagaimanakah nasib pengembangan kompetensi  afektif dan psikomotorik  mereka ?
Kapan kemampuan psikomotorik dan afektif anak didik akan dihargai ?

Solusi
Di berbagai kesempatan seminar, sarasehan, diskusi dan lainnya telah banyak pakar yang mengusulkan agar sistem pendidikan ini diperbaiki. Antara lain meninjau kembali kebijakan unas yang telah diberlakukan semenjak tahun 1985 namun terbukti tidak cukup signifikan menaikkan kualitas pendidikan. Jika pemerintah akan mengadakan Unas bukan untuk menentukan kelulusan siswa melainkan hanya digunakan sebagai acuan pemetaan pendidikan saja.

Mendorong peningkatan kompetensi guru agar mampu  membuat soal terstandar  yang mencakup aspek pendidikan secara komprehensif, sehingga nilai yang diberikan kepada siswa mewakili kompetensi yang dimiliki oleh siswa itu sendiri. Guru tidak boleh  lagi diintervensi dari pihak manapun dalam mengevaluasi proses pembelajaran yang telah berlangsung. Guru harus benar-benar mandiri dalam mengelola proses pembelajaran. JANGAN CIPTAKAN KETAKUTAN PADA GURU.

Sistem evaluasi (rapor) yang dilaporkan pihak sekolah  kepada wali murid atau masyarakat menggunakan penilaian kualitatif untuk masing-masing kompetensi yang telah dicapai siswa. Dengan model evaluasi semacam ini masyarakat akan mengetahui lebih detail kompetensi apa saja yang telah dikuasai siswa dan mereka dapat mengujinya kembali jika kurang yakin dengan rapor yang diberikan sekolah.

Bagi siswa yang telah menguasai kompetensi diberikan tanda tamat belajar tanpa harus ada batas nilai minimal secara nasional. Hal ini diperlukan untuk mendorong terciptanya penilaian yang jujur, karena guru dan masyarakat tidak khawatir lagi anak didiknya tidak lulus. Gurulah yang akan mengambil pertimbangan apakah peserta didiknya pantas tamat belajarnya atau tidak.

Pendidikan dimasa mendatang hendaknya berorientasi pada kualitas kemampuan, bukan mengejar nilai diatas kertas. Suatu saat masyarakat akan membuktikan apakah nilai yang dibawa siswa sebanding dengan kemampuannya, Jika tidak maka institusi pendidikan akan dituduh sebagai PEMBOHONG. Akankah  kita akan membiarkan hal ini terjadi ?
Tantangan jaman mesti dijawab dengan kerja keras untuk meningkatkan kualitas sumber  daya manusia, bukan hanya sekedar nilai diatas kertas. Semoga ini menjadi renungan kita bersama.(karyadi)


Artikel Terkait Lainnya Seputar:





0 komentar:

  © Referensi IPTEK di dukung : Pakde Karyo Pakde Karyo 2011

Back to TOP